adalah perkumpulan yang mempertemukan alumni Pondok Pesantren Cipasung dari segala kalangan pendidikan, profesi, strata sosial, dan ekonomi serta tidak dibatasi oleh angkatan alumnus.

Minggu, 26 Februari 2012

Cipasung

CIPASUNG adalah kampung kecil seluas 4 Ha, menjadi bagian dari desa Cipakat yang mencapai 321,585 Ha. Masuk dalam Pedukuhan IV RW VII, Cipasung terbagi dalam empat RT dan dikelilingi kampung-kampung kecil lainnya. Sejak pesantren berdiri tahun 1932 hingga tahun 2006, tanah kampung Cipasung hampir seluruhnya sudah menjadi milik pesantren atau keluarga pesantren. Perluasan area pesantren yang kini mencapai 10,5 Ha., melebar dan meluas ke kampung-kampung di sekitarnya.


Sejarah lisan kampung Cipasung bermula dari seorang tokoh bernama Uyut Elwu. Ia hidup pada waktu Tasikmalaya masih bernama Sukapura dan dipimpin oleh Dalem (Bupati). Sekitar akhir abad XVIII. Elwu diyakini sebagai seorang Muslim yang memiliki berbagai karomah Makamnya kini terletak tak jauh dari MAN Cipasung dan masih dikeramatkan orang. Elwu diceritakan sebagai orang yang bersahaja, tidak suka menyombongkan diri tetapi tak ada orang yang berani meremehkannya. Tidak menyombongkan diri tetapi tidak mundur jika ada yang menyerang.


Permainan tradisional yang pernah populer di Cipasung adalah dogong. Ini sejenis permainan adu kekuatan, yakni bambu sepanjang dua meter ditarik oleh dua orang dari arah berlawanan. Jika salah seorang pemain melewati garis yang telah disepakati maka ia dianggap kalah. Selain dogong, permainan lain yang disukai adalah panco.

Di kemudian hari, setelah masuk masa DI/TII pada 1950-an, warga Cipasung dan para santri yang telah dewasa tekun belajar pencak silat.

Desa Cipakat menjadi salah satu desa penghasil ikan mas, nila, dan gurame di wilayah Singaparna. Kecamatan ini sejak lama dikenal sebagai pusat penjualan ikan. Cipakat termasuk daerah dataran rendah dengan tinggi dari permukaan air laut 125 m. Sumber airnya berasal dari sumur yang tak pernah kering sepanjang waktu. Tiga buah sungai membelah desa dan mengairi pesawahan seluas 204 Ha dan kolam seluas 15 Ha.

Pada musim kemarau, air sungai berkurang tetapi tidak pernah sampai kekeringan. Kondisi desa yang begitu tenang dengan pembagian air yang merata, itu tak lepas dari jasa Haji Abdul Ghofur, lurah pertama Cipakat. Dia menjadi lurah tahun 1917 setelah terjadi penggabungan dua desa, Cimunding dan Sukasenang. Diambilnya nama Cipakat mengikuti nama salah satu sungai yang mengaliri kedua desa asalnya.

Abdul Ghofur mempunyai 11 anak dari tiga istri. Ia sangat mendambakan salah satu dari puteranya ada yang membuka pesantren. Ruhiat yang lahir tahun 11 November 1911, salah satu puteranya dari Umayah, menunjukkan minat untuk mewujudkan keinginan itu.

Sementara Uwen Juansyah, puteranya dari Murtamah memilih menjadi pengajur Ahmadiyah Qodiyan. Ruhiat kelak membuka Pesantren Cipasung dan Uwe Juansyah menjadi tokoh utama Ahmadiyah. Kedua kakak-beradik berbeda ibu ini tinggal tidak berjauhan di sekitar Desa Cipakat.

Sebagai kepala desa, Abdul Ghofur memiliki kekayaan yang cukup untuk dibagikan kepada putra-putrinya, termasuk Ruhiat, masing-masing anaknya mendapat warisan 1 Ha tanah.

Sebagai hadiah, ia menyediakan sebidang kolam di Cisaro bagi siapa saja di antara anaknya yang memimpin pesantren. Ruhiat dipilihkannya tanah di Cipasung yang dinggapnya tepat untuk dibangun pesantren. Letak Cipasung agak menjorok ke dalam dari jalan provinsi tetapi tidak terlalu jauh. Akses ke dan dari Cipasung ke kampung-kampung di sekitarnya sangat mudah karena jalan-jalan yang cukup lebar melintas di sekelilingnya.

Posisi tanah kampung Cipasung berbentuk mengerucut, lebar di satu bagian dan mengecil di bagian lainnya. Cipasung diambil dari kata pasung, yaitu bagian ujung topi berbentuk kerucut yang tampak saat dikenakan di kepala atau ujung dari sebuah benda yang beralas persegi empat seperti piramid. Pasung bisa diartikan sesuatu yang menonjol berada di puncak dan memiliki pondasi kuat. Sementara Ci sebelum pasung sebagai penanda suatu tempat. Makna tersebut sangat berbeda dengan pasung dalam konteks Melayu yang berarti alat untuk menghukum orang yang berbentuk kayu berlubang dipasangkan pada kaki, tangan atau leher. (Iip D. Yahya)

0 komentar: