adalah perkumpulan yang mempertemukan alumni Pondok Pesantren Cipasung dari segala kalangan pendidikan, profesi, strata sosial, dan ekonomi serta tidak dibatasi oleh angkatan alumnus.

Senin, 27 Februari 2012

Cerita Yudha tentang K.H. Abdul Chobir

Di sela-sela penyelenggaraan Journalism Camp di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, saya dan Vian ditemani seorang kawan dari Cipasung, Fahmi, sempat bersilaturahmi ke KH Abdul Chobir. Beliau merupakan seorang alumni Salman ITB yang kini menjadi salah satu kiai di pesantren tersebut.

Siang itu, sekitar pukul 14 siang, kami menemui beliau di rumahnya yang terletak tepat di depan Masjid Cipasung. “Maaf, baru mengisi (memberikan ceramah) pengajian. Tidak menunggu lama, kan?” tanyanya ramah sambil menyalami kami satu per satu.

Pria kelahiran 27 Desember 1957 ini tampaknya memiliki kenangan yang manis dengan Masjid Salman ITB. Usai kami memperkenalkan diri, beliau langsung bercerita tentang Masjid Salman ITB di era 1977 hingga 1982, tepat ketika beliau masih berstatus mahasiswa jurusan Fisika ITB.

Mas Chobir mengaku banyak pengalaman penting yang beliau dapat semasa menjadi aktivis di Masjid Salman ITB. Salah satunya ketika Masjid Salman ITB kerap kali diundang untuk memberikan khutbah di masjid-masjid sekitar ITB. Waktu itu, beliau dan rekan-rekannya sesama aktivislah yang memenuhi undangan tersebut. “Padahal (waktu itu) cuman modal nekad,” kenang beliau.

Pada masanya, pria asal Tulungagung, Jawa Timur ini banyak disukai aktivis Masjid Salman ITB karena suara emasnya. Beliau kerap bertugas sebagai muadzin ketika waktu shalat tiba. Karena bacaan Alqurannya yang merdu, beliau juga sering disuruh mengimami shalat. Terlebih lagi ketika Ramadhan tiba. Tugas menjadi muadzin dan imam tetap tarawih Masjid Salman ITB pun kerap diamanahkan kepada beliau ketika itu.

Ketika ditanya alasan Mas Chobir aktif di Masjid Salman ITB ketika kuliah dulu, beliau hanya menjalankan amanah ayahya. “Di mana pun berada, harus dekat pesantren, kalau tidak (ada pesantren), harus dekat masjid,” ucap beliau menirukan pesan ayahnya.

Namun, Masjid Salman ITB di mata suami Neng Ida Nurhalida ini lebih dari menjalankan amanah orang tuanya. Di masjid kampus pertama di Indonesia ini, beliau merasa nyaman. “Ukhuwah (aktivis)-nya sangat kuat,” nilai Mas Chobir.

Ukhuwah yang kuat ini salah satunya tercermin bila ada salah seorang yang sakit. Mulai dari mengurus ketika sakit setiap harinya hingga meminta pengobatan gratis ke dokter, dilakukan bersama-sama.

Ketika Ramadhan tiba pun, Mas Chobir dan rekan-rekannya sesama aktivis kerap tidur di Masjid Salman ITB. Bila lapar melanda, biasanya mereka makan roti bakar dan bubur kacang ijo di bilangan Tamansari, dekat Kebun Binatang Bandung.

Meskipun begitu, Ketua Panitia Pelaksana Program Ramadhan (P3R) Masjid Salman ITB tahun 1978 ini tidak menapik sifat kebanyakan mahasiswa ITB yang individualis dan memiliki ego yang tinggi. Namun, keegoan ini bisa dicairkan dengan cara-cara yang informal, seperti berjalan kaki bersama-sama ke Curug Dago, Lembang, Ciwidey, hingga Situ Patenggang. “Kalau ingat itu (jalan-jalan bersama), jadi nostalgia yang indah,” kenang bapak 4 orang anak ini.

Salman Era Akhir 1970an

Mas Chobir mulai aktif di Masjid Salman ITB sejak terdaftar sebagai mahasiwa jurusan Fisika ITB pada 1977. Beliau ingat waktu itu Masjid Salman ITB selalu penuh sesak dengan jamaah ketika waktu shalat tiba.

Puncak jumlah jamaah di Masjid Salman ITB adalah pada bulan Ramadhan. “Suasana tarawih (di Masjid Salman ITB) sangat penuh. Telat sedikit saja, tidak akan dapat tempat (tarawih),” cerita Mas Chobir.

Masjid Salman ITB juga menjadi pusat belajar Alquran untuk mahasiswa dan masyarakat ketika itu. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk Kaum Abangan, banyak dari mahasiswa ITB yang beragama Islam, tetapi belum bisa membaca Alquran. Sehingga Masjid Salman ITB kerap dibanjiri mahasiswa yang belajar membaca Iqra.

Semasa menjadi aktivis Masjid Salman ITB, Mas Chobir diamanahi mengurus kuliah dhuha setiap Sabtu pagi. Kala itu, pesertanya adalah mahasiswa dan jumlahnya bisa mencapai ribuan orang. Sejak saat itu, akhirnya dibuatlah Keluarga Remaja Islam Salman (Karisma) ITB. Ketika itu, mahasiswa yang ribuan orang jumlahnya, dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok diskusi kecil.

Mas Chobir juga merintis Salman Komunikasi Aspirasi Umat (SKAU), sebuah buletin Islam yang diterbitkan untuk jamaah Salman ITB. Menurutnya, membuat media cetak saat itu tidak semudah saat ini. Dirinya dan teman-teman redaksi lainnya harus me-layout secara manual dengan dibantu printer elektrik. Untuk urusan mencetaknya pun masih terbilang mahal. Sehingga tak jarang para awak SKAU menjelajahi gang-gang Kota Bandung untuk mencari percetakan yang murah.

Usai diwisuda pada 1983, Mas Chobir sudah tidak lagi berkecimpung dalam aktivitas keagamaan di Masjid Salman ITB. Selain sibuk mengajar, Mas Chobir ketika itu sudah memiliki istri dan mengharuskannya tinggal di Cipasung, Tasikmalaya.

Alquran dan Ridho Orang Tua

Berbicara kehidupan, Mas Chobir mengaku tidak pernah punya rencana dalam hidupnya. “Semuanya mengalir, seperti filosofi Sunan Kalijaga,” paparnya. “Ikuti aliran air, tapi jangan sampai terbawa arusnya,” lanjut alumni magister Teknik Elektro ITB ini menjelaskan.

Meskipun mengikuti aliran air, tetapi jalan hidup beliau oleh rekan-rekan dan keluarganya dinilai baik. Mas Chobir memandang jalan hidupnya sebagai karunia dari Allah. “Kalau belajar, bisa sampai malam. Bukan karena terpaksa, tapi karena senang. Mungkin hal ini karunia dari Allah,” papar anak dari Abdul Adi ini menggambarkan filosofi hidupnya.

Selain berkesempatan berkuliah di ITB, hal istimewa lainnya dalam hidupnya adalah menikah dengan putri kiai Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.

Mas Chobir sendiri dibesarkan di lingkungan pesantren di Tulungagung. Ayahnya merupakan salah satu kiai di pesantren tersebut. Karena dibesarkan sebagai seorang santri inilah, di dalam diri Mas Chobir ada keseganan untuk menikah dengan putri seorang kiai.

Namun, keseganan ini tidak terpatri di diri teman-teman kuliahnya di ITB. Sehingga ketika tim ITB menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat di Cipasung, beberapa rekannya menjodohkan Mas Chobir dengan putri kiai Cipasung, dan berhasil. Mas Chobir pun menikah pada 26 Maret 1983 malam, dua hari sebelum dia diwisuda. “Jadi dapet ijabsah dan ijasah,” candanya.

Hal yang kini dia raih bukanlah tanpa sebab. Ketika dirinya mencoba menelusuri jalan hidupnya, pendiri Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Cipasung ini menyimpulkan bahwa patuh kepada orang tua dan sering membaca Alquran adalah kunci kehidupannya kini.

Dalam Alquran, lanjut Mas Chobir, ada 3 rangkaian ayat Alquran yang harus dijalankan. Bila tidak dijalankan, tidak akan diterima oleh Allah kelak. Ketiga rangkaian itu adalah shalat dan zakat, mentaati Allah dan rasul-Nya, dan berbakti kepada orang tua.

Mas Chobir sendiri mengakui bahwa ibunya dia nilai sangat rajin beribadah. Selain puasa dan shalat, ibunya kerap membaca Alquran. Sehingga, ketika ibunya berdoa meminta kebaikan untuk anak-anaknya, mungkin hal inilah yang dikabulkan oleh Allah.

Selain doa dari orang tuanya, Mas Chobir juga menilai kebiasaannya membaca Alquran, membuat jalan hidupnya menjadi baik. Bila tidak ada kegiatan, dirinya lebih menyukai membaca Alquran. “Senang aja kalau membaca Alquran. Mungkin karunianya di situ,” simpul Mas Chobir.

Menjelang adzan Ashar, saya, Vian, dan Fahmi berpamitan untuk kembali ke lokasi Journalism Camp. Satu hal yang diwasiatkan oleh KH Abdul Chobir, bahwa tantangan berdakwah saat ini jauh lebih berat. Tontonan dari televisi sudah cukup banyak. Namun, dari internet juga ada banyak dampak negatif. “Harus diimbangi oleh umat Islam sendiri dengan menciptakan konten-konten yang positif,” pesannya singkat.

Yudha P. Sunandar

0 komentar: